Baret Merah Menggebuk Mbah Suro - Target Hukum Online

Breaking

Berita Seputar Hukum Dan Kriminal

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 23 Oktober 2017

Baret Merah Menggebuk Mbah Suro

Targethukumonline. Sejarah - Pasca 1965, perburuan terhadap anggota atau simpatisan PKI terjadi di mana-mana. Sangat jarang anggota PKI yang sanggup memberikan perlawanan. 

Mbah Suro

Perkecualian terjadi di beberapa tempat yang terbatas, seperti Madiun dan Blitar selatan.

Selebihnya para anggota PKI dan simpatisannya, maupun yang dituduh, dengan mudah ditangkap. Sebagian dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru, sisanya diburu sampai mati, dihabisi.

Salah satu kisah menarik pasca 1965 adalah tentang Mbah Suro. Saat para anggota dan simpatisan PKI kebanyakan lari dan bersembunyi, ia malah mendirikan padepokan yang kemudian didakwa menampung pelarian PKI. Muljono alias Surodihardjo lahir di desa Nginggil pada 17 Maret 1921.

Muljono alias Surodihardjo lahir di desa Nginggil pada 17 Maret 1921.
Muljono dibesarkan tidak begitu jauh dari tempat tinggal orang-orang Samin di Blora. Waktu muda, Muljono juga ikut revolusi. 

Muljono, menurut Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003), adalah anggota pasukan Brigade Yadau dari Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI), pemuda lulusan Sekolah Rakjat ini berpangkat sersan di masa revolusi.

Komandan brigadenya, Ahmad Wiro Sardjono alias Ahmad Yadau, adalah tokoh militer yang punya peran dalam Kudeta Madiun 1948. Ayahnya, Resosemito, adalah seorang kepala desa. Pada masa kolonial, menjadi kepala desa adalah privilese tersendiri, menempati kelas sosial yang berbeda dari kebanyakan, dan hidup relatif berkecukupan.

Ketika masih jadi kepala desa, Muljono sudah merintis diri jadi dukun. Ayahnya, Resosemito, adalah seorang kepala desa. Pada masa kolonial, menjadi kepala desa adalah privilese tersendiri, menempati kelas sosial yang berbeda dari kebanyakan, dan hidup relatif berkecukupan.

Seperti ayahnya, Muljono kelak juga pernah jadi kepala desa Nginggil. Muljono, menurut Ramelan, jadi kepala desa lebih dari 16 tahun. Ia menjabat kepala desa hingga 31 Juli 1962. Dia mulai jadi kepala desa sekitar1946. Jadi sebelum Kudeta Madiun 1948, Muljono sudah pulang kampung.

Jadi kepala desa tentu membuatnya lebih banyak tinggal di desanya. Posisinya sebagai kepala desa membuatnya jadi orang terpandang. 

Banyak perempuan rela diperistri. Setidaknya, menurut buku terbitan Andalusia, perempuan-perempuan bernama Sumini, Munatun, Samidjah, Rukmini dan Suwarni, pernah jadi istrinya.

Ketika masih jadi kepala desa, Muljono sudah merintis diri jadi dukun. Muljono memulainya sejak 1952, tetapi baru tahun 1959 dia sepenuhnya mulai mendapat pengakuan sebagai ahli kebatinan, guru juga orang sakti. 

Setelah lengser pada 1962, dia sepenuhnya dukun dan panggilannya adalah Mbah Suro. “Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro, diikuti dengan penampilannya memelihara kumis tebal dan rambut panjang,” Selain kegiatan kleniknya, dia juga dianggap menyebarkan ajaran Djawa Dipa.

Sebagai dukun, dia memberi banyak jampi-jampi dan jimat. Jimatnya dipercaya membuat orang-orang jadi kebal senjata tajam juga senjata api, pasca 1965, desa Nginggil mendadak ramai banyak orang berkunjung, jumlahnya hampir ribuan.

Padepokan itu kemudian dianggap membahayakan. Kala itu sedang ramainya pengejaran terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diperkirakan padepokan Mbah Suro juga didatangi pelarian PKI. 

Kelompok Mbah Suro, Berani memproklamasikan kembalinya PKI pada tanggal 3 Maret 1967 dengan menetapkan Suradi, anggota CDB Jawa Timur, sebagai cantriknya dengan dibantu beberapa anggota eks PKI lainnya, seperti Mulyono, Legi, Suyoto Kobra, dan Suyitno.

Di dalam kelompok Mbah Suro, ada juga mantan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), beberapa pucuk senjata berhasil dibawa mantan-mantan ABRI itu.

Dalam kelompok Mbah Suro itu, terdapat beberapa pasukan yang dinamai macam-macam Banteng Wulung dan Banteng Sarinah.  jumlah pengikut aliran kebatinan Mbah Suro ditaksir mencapai jumlah sekitar 500.000. orang.

Jumlah yang agak ganjil karena sebuah desa rasa-rasanya sulit menampung orang-orang yang jumlahnya ratusan ribu itu, pasukan Banteng Wulung jumlahnya 200 orang sedangkan pasukan perempuan jumlahnya hanya 30 orang. Tak menutup kemungkinan jumlahnya lebih namun hanya ukuran ratusan orang.

Orang- orang yang tidak sealiran atau dianggap musuh, tanpa ampun dibunuh oleh pasukan-pasukan ini. Melihat perkembangan (padepokan) Mbah Suro ditunggangi oleh PKI, Panglima Kodam VII/Diponegoro memerintahkan penutupan padepokan itu.

Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu. Dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Letnan Dua Sintong Pandjaitan hendak ikut dalam penyerbuan Mbah Suro yang terkenal sakti itu. 

Karena Sintong hendak dikirim ke Papua, ia pun tidak jadi berangkat. Akhirnya hanya ada pasukan dari Kompi yang dipimpin Letnan Satu Feisal Tanjung.

Dalam misi menyerbu Mbah Suro pada 5 Maret 1967 itu, pasukan RPKAD dibantu pasukan Angkatan Darat yang lain. Seperti dari Batalyon 408, 409 dan 410. Operasi itu dipimpin Mayor Soemardi.

Setelah mengamati kekuatan lawan, dalam waktu relatif singkat, Feisal memerintahkan anak buahnya melakukan serbuan mendadak, langsung ke sasaran. 

Serbuan tersebut memporakporandakan anak buah Mbah Suro, dalam serbuan itu banyak pengikut Mbah Suro terbunuh. Mbah Suro sendiri ditangkap dan tak ada rimbanya lagi. Mbah Suro ditembak ketika hendak kabur di tepi Bengawan Solo.

Dalam operasi militer ini, RPKAD, menurut Ramelan, kehilangan tiga prajurit yakni, Sersan Dua Soerkarno, Kopral Satu Herdi dan Kopral Satu Darmanto, sementara Kopral Satu Biman dan Prajurit Suwito luka berat.

Pasukan RPKAD meninggalkan Nginggil pada pukul 17.45 WIB sore. Dari 80 anggota banteng wulung yang terbunuh, hanya 4 orang saja yang betul-betul asli desa Nginggil. ($.pranata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad