Perlawanan Ki Bagus Rangin Dan Rakyat Kuningan - Target Hukum Online

Breaking

Berita Seputar Hukum Dan Kriminal

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 09 April 2017

Perlawanan Ki Bagus Rangin Dan Rakyat Kuningan

Targethukumonline. Kuningan - Memasuki abad ke-19, proses perpindahan kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda terus berjalan. Bersamaan dengan itu, pelbagai kebijakan diturunkan oleh penguasa yang baru terhadap rakyat, salah satunya adalah ketentuan mengenai penyewaan tanah kepada orang-orang Tionghoa di daerah Palimanan yang terletak di antara Jatitujuh dan Majalengka dan termasuk wilayah Kesultanan Cirebon.

Harga sewa yang tinggi membuat pihak penyewa tanah, yaitu orang-orang Tionghoa, memeras tenaga rakyat dan mengenakan pajak yang tinggi untukmenutup modal serta meraup keuntungan yang besar. Dalam tulisan “Perlawanan di Tatar Sunda” yang dieditori oleh Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, Nina Lubis menulis, bahwa kondisi itu membuat rakyat mengeluh dan mengadu pada pemerintah, namun ternyata diabaikan.

Dari sana lah kemudian benih-benih perlawanan masyarakat terhadap penguasa kolonial mulai tersemaikan.Asik Natanagara mengungkapkan dalam “Sadjarah Soemedang ti Djaman Kompeni Toeg Nepi ka Kiwari” bahwa Bagus Rangin menyetujui untuk memimpin gerakan perlawanan setelah sejumlah rakyat Palimanan meminta bantuannya.

Pusat gerakan Bagus Rangin sendiri terletak di sekitar daerah Jatitujuh, termasuk Kabupaten Majalengka yang berada di sebelah barat daya pusat kota Cirebon. Gerakan ini berjalan selama kurang lebih 14 tahun, sejak tahun 1805 hingga 1818, dengan memakan korban yang amat banyak dari kedua belah pihak termasuk tokoh-tokoh pentingnya.

Dalam Sejarah Tatar Sunda, Lubis menjelaskan bahwa perlawanan tersebut berakhir saat Sultan Sepuh turun tangan mengurus gerakan ini. Dalam sebuah kontak senjata yang terjadi pada 8 Agustus 1818 di daerah Sumber, perlawanan pasukan Bagus Serit dapat dipatahkan dan mereka pun dihukum oleh pemerintah kolonial.

Meski pada akhirnya gerakan untuk membela rakyat yang menderita karena kerja paksa ini dapat dilumpuhkan, pengaruhnya tidak dapat dianggap sebelah mata karena ternyata kegiatan perlawanan meletus di banyak daerah Keresidenan Cirebon, termasuk di antaranya adalah di wilayah Kuningan.

Perlawanan yang terjadi di Kuningan digalakkan oleh para pemimpin lokal yang tidak menyukai kebijakan ekonomi pemerintah kolonial, seperti Demang Wargagupita dari Kuningan, Jurangprawira dari Linggajati, dan Jangbaya dari Luragung. Ketentuan pemerintah yang dibenci oleh para elit lokal tersebut salah satunya adalah kebijakan Daendels mengenai penggandaan setoran padi kepada pemerintah yang mereka anggap terlalu memberatkan beban kehidupan masyarakat. Terkait hal itu, Daendels memiliki pikiran yang berbeda. Walaupun mencurigai adanya sejumlah ketidakberesan lain, ia melihat sumber masalah terdapat pada kehadiran orang-orang Tionghoa.

Hal itu berdasarkan laporan tentang pemberontakan lokal yang menuduh kekejaman pemilik tanah dan pedagang Tionghoa terhadap penduduk sebagai penyebab utamanya, seperti tulis Daendels dalam karangannya yang diterbitkan tahun 1814, Staat der Nederlandsche Ostindische bezittingen, Bijlangen, Organique Stukken, Prepatoire Mesures No. 31. Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana menderitanya penduduk Jawa Barat saat itu. Dua pungutan pajak yang berbeda, 1 untuk pemerintah dan 1 untuk tuan tanah, benar-benar memberatkan masyarakat, hingga terjadi perlawanan rakyat kecil yang mematikan penuh semangat heroik hingga titik darah penghabisan. (Mul¥©π©)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad