Target Hukum Online. Pati - Operasi Intelijen CIA melawan China di Tibet. Selama hampir dua dekade Badan Intelijen Amerika ClA (Central Inteligence Agency) menggalang, melatih dan memodali kelompok perlawanan Tibet yang menjuang melawan pasukan pendudukan RRC. Kebijakan luar negeri AS yang kerap berubah membuat posisi kelompok perlawanan Tibet bak anak ayam kehilangan induk. Riwayat kelompok perlawanan Tibet tamat akibat perpecahan internal.
Masih ingat film layar lebar lansiran Hollywood yang berjudul Seven Years in Tibet? Dalam histodrama yang dibintangi oleh aktor beken Brad Pitt dan David Thewlis itu digambarkan serba-serbi kehidupan bangsa Tibet pada pengujung dekade 1940-an yang masih hidup dalam atmosfir religius yang begitu kental.
Segala ketenteraman dan ketenangan hidup yang selama ratusan tahun dinikmati warga penghuni puncak Pegunungan Himalaya ini mulai terusik tatkala pada tahun 1950 rejim komunis Republik Rakyat China (RRC) mulai melebarkan hegemoninya ke kawasan yang kerap dijuluki sebagai puncak dunia tersebut. Kehadiran mereka amat mengusik ketenangan warga Tibet.
Namun lewat aksi kekerasan yang digelar secara barbar dan masif pada musim gugur tahun 1951, Tentara Pembebasan Rakyat RRC berhasil menguasai ibukota Lhasa, sekaligus mendepak Dalai Lama, pemimpin negara dan tokoh religi utama masyarakat Tibet, dari tampuk kekuasaannya.
Dalih pihak Beijing, Dalai Lama menolak kesepakatan kerjasama bertajuk “Rencana Pembebasan Damai Tibet” yang ditawarkan Beijing. Secara teoritis mayoritas isi klausul kesepakatan kerjasama RRC-Tibet itu tampaknya memang lebih menguntungkan Tibet. Namun pada prakteknya RRC telah menjabarkan isi traktat kerjasama itu lewat penindasan dan pembantaian sejumlah pendeta (Lama) dan kepala suku yang dianggap membangkang kemauan RRC.
Semua tindakan represif yang digelar pasukan RRC tidak serta merta mematahkan semangat perlawanan warga Tibet. Beberapa saudagar Tibet di bawah pimpinan Gampo Tashi Andrugtsang (51) mendirikan kelompok perlawanan Chushi Gandrug (Empat Sungai Enam Gunung). Biarpun miskin senjata dan pengalaman bertempur, namun nyatanya kelompok ini beberapa kali sukses menjalankan serangan yang menimbulkan banyak korban di tengah pasukan RRC.
Perasaan antipati warga Tibet terhadap RRC mencapai puncaknya pada bulan Februari 1956 pada saat armada AU RRC membom kompleks biara di Chatreng dan Litang yang menewaskan ribuan pendeta dan pengungsi warga sipil. Sadar lawan yang dihadapi kelewat tangguh dan perkasa, kelompok Chushi Gandrug coba mencari bantuan dari luar Tibet. Gyalo Thondup, kakak kandung Dalai Lama segera mengontak konsulat AS di India. Seperti kebanyakan warga Tibet lainnya, ia tidak tahu secuil pun tentang AS. Di lain pihak, AS yang sejak lama memang telah memantau kondisi Tibet pasca invasi RRC dan sudah geregetan ingin ikut campur di sana segera saja menyambut permintaan bantuan itu.
Pada satu malam di musim semi tahun 1957, enam orang anggota pilihan Chushi Gandrug diterbangkan Badan Intelijen AS (CIA) ke pangkalan AL AS di Pulau Saipan guna menjalani serangkaian pelatihan. Bagi mereka, penerbangan ini merupakan pengalaman luar biasa. Seumur hidup mereka belum pernah berhubungan dengan orang asing, apalagi naik pesawat terbang yang kerap mereka juluki sebagai perahu awan. Mereka bahkan tidak tahu di mana tempat yang jadi lokasi tujuan perjalanan. Selama lebih dari lima bulan keenam orang Tibet ini berlatih keras soal ilmu dasar kemiliteran, persandian, intelijen, taktik perang gerilya dan pengenalan berbagai jenis senjata serta tehnik berkomunikasi dengan memakai radio pemancar dua arah.
Di bawah sandi Proyek “ST Circus”, angkatan kesatu gerilyawan Tibet hasil gemblengan Operasi Intelijen ClA yang dipimpin Athar Norbu diterjunkan kembali ke Tibet pada musim gugur tahun 1957. Di tengah malam yang dingin tetapi diterangi bulan purnama, mereka mendarat tidak jauh dari Sungai Tsangpo. Beberapa bulan kemudian, atas sepengetahuan CIA, Gampo Tashi Andrugtsang mendirikan markas besarnya di Triguthang, Tibet Selatan. Basis ini menampung ribuan gerilyawan Tibet. Nama yang diusung kamp ini adalah Tensung Dhanglang Magar (Kelompok Sukarelawan Pembela Budha). Sejak saat itu CIA mulai secara berkala memasok sejumlah besar senjata pasukan infanteri kepada kelompok Gampo Tashi Andrugtsang.
Merasa masa depan Proyek “ST Circus” cerah, Operasi Intelijen CIA lantas mendirikan pusat pelatihan yang berlokasi di Camp Hale yang sejatinya merupakan bekas tempat pendidikan satuan elit AD AS Divisi Gunung ke 10. Orang Tibet menjuluki tempat ini sebagai Dhumra (Taman). Pendidikan militer di Camp Hale sangat spartan. Bahkan para gerilyawan juga diindoktrinasi agar segera menelan pil sianida untuk bunuh diri bila sampai tertangkap musuh. Guna memompa semangat orang Tibet, Operasi Intelijen CIA tidak segan memajang foto Presiden Dwight Eisenhower yang diberi tulisan pesan dan tandatangan palsu Eisenhower.
Rencana RRC menyingkirkan Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso tidak berjalan mulus. Selama beberapa minggu ribuan warga Lhasa menyemut di sekeliling istana Potala yang jadi kediaman resmi Dalai Lama sehingga garnisun pasukan RRC yang hendak masuk jadi terhalang. Lewat jalur pelarian yang sangat berliku, anak buah Gampo Tashi Andrugtsang berhasil mengungsikan Dalai Lama ke India (17/3/59). Jengkel melihat mangsanya berhasil kabur, pasukan RRC lantas menghujani Lhasa dengan tembakan membabi buta. Perlawanan yang dilakukan kelompok Chushi Gandrug sia-sia belaka. Korban jiwa di kalangan warga Lhasa tidak terbilang jumlahnya. Setibanya Dalai Lama di India, jumlah gerilyawan Tibet yang dikirim berlatih di AS semakin meningkat.
Permulaan Perlawanan, Hasil Operasi Intelijen CIA
Awal bulan Desember 1958, serangan gerilyawan Tibet terhadap konvoi pasukan RRC maupun markasnya di Teng Dzong mulai meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam setiap serangan, puluhan prajurit RRC berhasil ditewaskan dan sejumlah senjata modern juga berhasil direbut. Sayang, meski bernyali besar gerilyawan Tibet tidak punya perangkat radio komunikasi dan senjata penangkis serangan udara. Akibatnya, serangan terhadap sejumlah basis militer RRC kerap tidak terkoordinasi dengan baik dan segera buyar tatkala AU RRC mulai terlibat.
Pada bulan September 1959, CIA menerjunkan 18 orang gerilyawan jebolan Camp Hale di dekat dusun Chagra Pembar sekitar 300 kilometer timur laut Lhasa. Misi mereka menggalang dan melatih warga setempat agar siap jadi gerilyawan anti RRC. Kabarnya, jumlah warga yang berhasil direkrut mencapai 35.000 orang. Tidak hanya senjata, amunisi dan bahan peledak, mereka juga dibekali dua unit radio komunikasi guna menjalin kontak dengan agen CIA yang bermukim di Nepal. Ditambah dengan dropping senjata dan obat-obatan di dusun Nira Tsogeng pada awal bulan Januari 1960, Operasi Intelijen CIA selanjutnya berani melibatkan diri secara terbuka dalam konflik di Tibet.
Namun tidak selamanya pihak gerilyawan seia sekata dengan CIA. Dalam satu kasus mereka hendak bergerak dalam formasi besar sementara CIA condong pada pembentukan unit kecil agar lebih mudah bermanuver dan relatif lebih ‘aman’ dari deteksi pasukan RRC. Pendapat CIA ini kelak terbukti kebenarannya saat di satu pagi yang cerah pada bulan Maret 1960 tiga pesawat terbang AU RRC mendadak terbang melintas di atas basis para pemberontak sambil menebar selebaran berisi permintaan agar para gerilyawan menyerah karena basis pemberontak dan dusun Chagra Pembar telah dikepung pasukan RRC.
Lepas tengah hari hingga menjelang malam, 10 unit pesawat jet tempur MiG-15 milik RRC meraung-raung di langit Chagra Pembar sambil menjatuhkan puluhan bom bakar. Dengan diselingi tembakan artileri berat, serangan udara ini kemudian berlanjut selama beberapa hari hingga akhirnya dusun Chagra Pembar dan dusun Nira Tsogeng rata dengan tanah. Dari 18 gerilyawan Tibet alumni Camp Hale, hanya lima orang yang berhasil selamat.
Pada musim semi tahun 1960, CIA menerjunkan tujuh orang jebolan Camp Hale di dusun Markam, Tibet Timur. Kelompok kecil ini dipimpin oleh Yeshe Wangyal, putera seorang kepala suku yang beberapa bulan sebelumnya dieksekusi tentara RRC. Turut bersama ketujuh orang ini sejumlah besar senjata dan makanan. Namun entah siapa yang membocorkan kehadirannya, tidak lama setelah mereka tiba dan belum sempat melatih penduduk setempat, satu kompi pasukan RRC tiba di dusun Markam dan terjadi baku tembak sengit. Lewat aksi baku bunuh selama hampir empat jam, nyaris seluruh personil kelompok Yeshe Wangyal tewas. Meski begitu insiden ini tidak lantas menyurutkan tekad CIA untuk menerjunkan lebih banyak gerilyawan. Beberapa hari kemudian Operasi Intelijen CIA menerjunkan 49 orang. Naas, hanya 20 orang yang berhasil luput dari sergapan pasukan RRC. Sisanya tewas ataupun tertawan.
Bantuan Operasi Intelijen CIA Dihentikan
Lewat berbagai pertimbangan, gerilyawan Tibet akhirnya setuju untuk memindahkan markas besarnya ke dusun Mustang yang berlokasi dekat perbatasan dengan Nepal pada musim panas tahun 1960. Dari sekitar 2.000 gerilyawan yang tersisa, Operasi Intelijen CIA berniat membentuk tujuh kelompok. Mantan pendeta Budha kepercayaan Gampo Tashi Andrugtsang, yakni Bapa Gen Yeshe, dipercaya mengkoordinasi kegiatan ketujuh kelompok ini.
Akibat insiden ditembaknya pesawat mata-mata tipe U-2 di atas wilayah udara Uni Soviet yang sedemikian memalukan AS, maka atas perintah Presiden Eisenhower secara mendadak pada awal musim dingin tahun 1960 ClA menghentikan kegiatan memasokan bantuan senjata dan bahan makanan kepada gerilyawan Tibet via udara. Akibatnya, warga kamp Mustang pun kelabakan. Tidak sedikit yang tewas akibat membeku kedinginan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka yang ‘beruntung’ masih bisa hidup bahkan terpaksa memakan sepatu dan jas penahan hujan yang terbuat dari kulit hewan.
Pergantian tampuk kepemimpinan di AS pada musim semi tahun 1961 sedikit memperbaiki kondisi kamp Mustang. Pasokan senjata dan bahan makanan dari Operasi Intelijen CIA kembali mengalir dalam jumlah lumayan besar. Tanpa perlu menunggu lama, para penghuni kamp Mustang pun segera unjuk gigi. Kawasan sekitar jalan raya yang menghubungkan Lhasa dengan Propinsi Sinkiang, RRC segera disatroni. Pasukan RRC yang terkenal gagah perkasa itu ternyata kelimpungan saat harus meladeni serangan gerilyawan kamp Mustang yang bertubi-tubi. Tidak mau tentaranya mati percuma, pihak militer RRC lalu membuat jalur jalan baru yang lebih aman bagi kegaiatan lalu lintas logistiknya.
Operasi Intelijen CIA di Tibet mendapat rejeki nomplok ketika 40 gerilyawan berkuda Tibet mencegat dan menghabisi satu konvoi kecil pasukan RRC yang kebetulan tengah melintas di jalur rawan itu. Para petinggi CIA ‘tercengang’ bukan pada kekejaman para gerilyawan yang membantai seluruh personil militer RRC anggota konvoi, tetapi kepada isi paket yang dibawa konvoi. Di dalam kantong berwarna biru tua yang dipegang seorang perwira militer wanita RRC, tersimpan sekitar 1.500 dokumen rahasia yang berisi setumpuk bukti kegagalan program pembangunan RRC di bawah rejim Mao Tse Tung.
Selain itu, ada pula beberapa dokumen berkualifikasi sangat rahasia yang mengindikasikan tengah terjadi perseteruan sengit di antara para petinggi Partai Komunis RRC dengan pucuk pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat RRC. Sedemikian ‘berat’ isi dokumen itu hingga sampai usainya misi Operasi Intelijen CIA di Tibet, tidak ada satu orangpun warga Tibet yang diberi tahu soal isi kantong biru tua yang sedemikian menggegerkan pihak Langley (markas besar CIA) dan tentu saja Beijing selaku empunya dokumen tersebut.
Pada pertengahan tahun 1962, tim telik sandi gerilyawan Tibet bahkan berhasil mengendus keberadaan satu instalasi militer nan rahasia di dusun Lop Nur yang selama ini keberadaannya selalu disangkal oleh pihak Beijing di forum internasional. Lokasi di kawasan utara Tibet itu belakangan jadi fasilitas pengujian senjata nuklir kesatu RRC di tahun 1964.
Segigih apapun perlawanan gerilyawan Tibet, tetap saja mereka tidak mampu menandingi keperkasaan mesin perang RRC. Pembangunan banyak jalan dan lapangan terbang di seantero Tibet memungkinkan Negara Tirai Bambu ini mendatangkan lebih banyak pasukan dan perlengkapan perang. Tidak hanya itu. Secara sistematis puluhan tempat pertapaan dan candi tempat peribadatan warga Tibet dihancurkan RRC. Ribuan warga sipil juga tewas dibantai, disiksa atau dipenjara dalam jangka waktu lama tanpa alasan yang jelas. Seakan pihak Beijing ingin berkata, “Silahkan kalian memberontak sampai orang terakhir, kami bakal tetap bercokol di sini sampai akhir jaman !” (Mu|¥©π©)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar