Target Hukum Online. Pati - Namanya Gunritno (tengah). Seorang penganut "Sedulur Sikep" atau pengikut ajaran Samin asal Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Kolom agama di KTP-nya dikosongkan karena negara belum mengakui agama "Adam" yang dipeluknya. (Meski dalam beragama, seseorang tak butuh pengakuan siapapun, termasuk negara).
Ia sedang berjalan kaki bersama para petani dari Rembang menuju Semarang (135 km) untuk menuntut pemerintah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng utara. Sebab ada gelagat pemerintah tetap melanjutkan proyek itu dengan mengeluarkan kajian lingkungan dan izin baru.
Menteri BUMN dan anggota DPR menyatakan pembangunan pabrik berkapasitas 3 juta ton per tahun ---yang kadung mengambil duit utangan dari Bank Mandiri itu-- akan jalan terus.
Bukan kali ini saja Gunritno "merepotkan" negara. Tahun 2009, ia bersama warga Pati juga memenangi gugatan melawan PT Semen Gresik. Setelah kalah di Pati, perusahaan BUMN itu lalu pindah ke Rembang (lalu berganti nama induk perusahaan menjadi PT Semen Indonesia).
Salah satu ajaran Sedulur Sikep yang dianut Gunritno, melarang pengikutnya mencari penghidupan dari berdagang (candak kulak). Dan karena mereka juga tidak bersekolah formal, maka "orang Samin" tidak bisa menjadi karyawan atau pegawai.
Dan, satu-satunya sumber kehidupan adalah bertani. Karena itu mereka membutuhkan tanah dan sumber air yang dipasok pegunungan karst yang kini menjadi incaran untuk bahan baku semen.
Maka bagi penganut Sedulur Sikep seperti Gunritno, melawan industri semen sejatinya juga membela substansi ajaran agamanya. Bukan pada tataran simbol belaka.
Keberhasilan gerakannya di Pati tahun 2009, menginspirasi petani lain di Rembang. Tak ada isu agama dan keyakinan, meski warga Rembang bukan penganut Sedulur Sikep atau pengikut ajaran Samin. Gunritno membantu dan kerap didapuk sebagai "konsultan" gerakan rakyat dan petani.
Ia kenyang menghadapi berbagai tuduhan. Salah satunya, gerakan ini disebut hendak menggembosi industri semen NKRI. Seperti biasa, sentimen nasionalisme ditiup-tiupkan. Tuduhan itu sendiri dengan mudah dipatahkan. Sebab selain membantu warga Rembang, ia juga bersama-sama warga Pati di kampungnya, sedang menghadapi Indocement yang sahamnya dimiliki Heidelberg-Cement (Jerman) di Mahkamah Agung.
Hubungannya dengan tokoh-tokoh agama juga baik. Gus Mus dari pesantren Raudhatut Thalibin di Rembang atau Romo Aloysius Budi Purnomo (Gereja Hati Kudus Yesus, Semarang) menunjukkan dukungan secara terbuka terhadap gerakan petani Kendeng.
Suatu sore, 2 Agustus 2016, Gunritno dan para "Kartini Kendeng" akhirnya diterima Presiden di Istana Negara, setelah April sebelumnya melakukan aksi memasung diri dengan adonan semen.
Sebagai penganut Sedulur Sikep, ia pantang mengenakan celana panjang dan tak pernah bersepatu. Ini seperti warga Baduy Dalam yang pantang memakai alas kaki apapun, dan hanya boleh berpakaian dari bahan dan warna tertentu.
Tapi protokoler di Istana mewajibkan setiap tamu berkemeja, celana panjang berbahan kain (bukan jeans), dan memakai sepatu. Setelah negosiasi yang cukup alot, akhirnya mereka diizinkan.
"Padahal aku sudah sempat mau mengalah dan ada yang mau meminjami celana dan sepatu," cerita Gunritno dalam Jawa "ngoko" pada suatu ketika. Jawa ngoko (sering disebut bahasa Jawa kasar) dipakai orang Samin untuk menunjukkan persamaan strata sosial.
"Lho, kenapa mengalah? Itu kan hak Mas Gun sebagai orang Sikep," saya menetak dalam "krama madya" campur "inggil".
"Karena saya pikir ada kepentingan sedulur-sedulur (saudara) lain yang bukan orang Sikep dan ini juga lebih besar kepentingannya," jawab Gunritno.
Kini ia masih dalam perjalanan menuju Semarang yang dijadwalkan tiba esok (7/12), bersama 300-an petani dari Rembang, Pati, Kudus, dan Grobogan. (Putra Pati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar