Target Hukum Online. Pati - Lahir pada 1 Oktober 1919 dari pasangan HM Zuhri dan Siti Saudatun, Saifuddin tumbuh dan besar di lingkungan pesantren. Masa kanak-kanak dilakoninya dengan penuh keprihatinan.Pada usia 19 tahun ia terpilih sebagai pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan, sebagai Konsul Nahdlatul Ulama Daerah Kedu, merangkap menjadi guru madrasah.
Seiring dengan itu, Saifuddin muda mulai aktif dalam dunia jurnalistik. Dirinya tercatat sebagai koresponden kantor berita Antara (kini Lembaga Kantor Berita Nasional Antara), sejumlah surat kabar harian dan majalah. Selanjutnya, diangkat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu. Bersama laskar Hizbullah dan TKR di bawah komando Kol Soedirman berhasil mengusir penjajah dalam pertempuran Palagan Ambarawa.
Lantaran peran aktif dalam peristiwa Ambarawa dan perang gerilya lainnya, beliau mendapat anugerah Tanda Kehormatan Bintang Gerilya (SK Presiden RI Nomor 2/Btk/1965 tertanggal 4 Januari 1965). Beliau sering mendapat hibah tanah dari masyarakat sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu menyelamatkan keluarganya di masa revolusi kemerdekaan RI.
Namun pun, tanah itu tak diambilnya menjadi hak pribadi melainkan diberikan kepada kiai lokal untuk kepentingan pesantren dan lembaga pendidikan Islam.Di usia 35 tahun, KH Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Selain itu, beliau menjabat Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat, anggota Parlemen Sementara, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Di kemudian hari Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Menteri Agama. Penunjukkannya sebagai menteri terjadi pada hari Jumat, 17 Februari 1962 "Penunjukan Saudara sudah saya pikirkan masak-masak. Cukup lama saya pertimbangkan dan saya ikuti sepak terjang saudara sebagai wartawan, politisi dan pejuang.
Setelah Saudara menjadi anggota DPA, saya bertambah simpati dan semakin mantap memilih saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung Karno saat itu. Atas penunjukkan tersebut, KH Saifuddin Zuhri meminta pendapat sejumlah tokoh NU, terutama KH Wahab Chasbullah dan KH Idam Chalid. Setelah semua mendukung, KH Saifuddin Zuhri menerima amanat sebagai Menteri Agama.Semasa beliau menjabat Menteri Agama, dunia pendidikan tinggi Islam berkembang pesat. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berkembang di sembilan provinsi dan masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten.
Anti-nepotisme
Meski lazim menghajikan seseorang orang yang berjasa pada negara, namun KH Saifuddin Zuhri menolak permintaan adiknya.“Sebagai orang yang berjasa dan kondisi ekonomimu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikanmu. Namun, ada satu hal yang menyebabkanku tak mungkin menghajikamu lewat departemen agama, karena kamu adikku.
Jika saja kamu orang lain, sudah lama aku hajikan,” ujar KH Saifuddin Zuhri kepada seorang adik iparnya.Sebagai penulis, banyak buku yang ditulis almarhum. Antara lain Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam National Building(1965), KH Abdul Wahab Hasbullah - Bapak Pendiri NU(1972), Guruku Orang-orang dari Pesantren(1974), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), Kaleidoskop Politik Indonesia (1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1982) dan Secercah Dakwah (1983). Buku berjudul Berangkat dari Pesantren selesai ditulis pada 10 September 1985 atau beberapa bulan menjelang wafat beliau (25 Maret 1986).Di usia senjanya, KH Saifuddin Zuhri tetap semangat dan bersahaja menjalani hidup.
Selepas salat Duha, di luar pengetahuan keluarganya beliau ke pasar untuk berdagang. Dan, selepas Zuhur baru pulang ke rumah. Kebiasaan ini mengundang kecurigaan anak-anak. Akhirnya, suatu ketika satu anaknya memergoki sang ayah berjualan beras di Pasar Glodok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar