Targethukumonline. Pati - Dampak sebuah surat kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa.
Kuasa Mutlak dikenal dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), antara lain pada :
1. Putusan MA : Tgl. 16 Desember 1976 No.731 K/ Sip/ 1975
2.Putusan MA : Tgl. 17 Nopember 1987 No.3604 K / Pdt/1985 : yang menegaskan kembali norma yg terdapat dalam putusan diatas.
Yang merupakan inti dari putusan diatas adalah :
Surat kuasa mutlak tidak dijumpai aturannya didalam KUHPdt., namun demikian Putusan MA mengakui keberadaannya sebagai suatu kebutuhan hukum.
Putusan MA Tgl. 16 Desember 1976 No.731 K/Sip/1975 telah menegaskan bahwa ketentuan pasal : 1813 KUHPerdata, tidak bersifat limitatif dan tidak mengikat; oleh karena itu, jika sifat perjanjian memang menghendaki, dapat ditentukan pemberian kuasa mutlak tidak dapat dicabut kembali.
Diperkenankannya membuat suat kuasa mutlak didasarkan atas prinsip kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini mengajarkan, para pihak bebas mengatur persetujuan yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan :
- hukum dan perundang-undangan,
- moral, kepatutan, kesusilaan dan agama,
- Kepentingan umum (van openbare orde).
Dengan demikian pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas (titel) hukum yang sah.
Beberapa Ketentuan dalam KUHPerdata yang terkait adalah : Pasal 1813 KUHPdt : “Pemberian kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.” Pendirian ini didasarkan pada ajaran hukum adalah bersifat mengatur. Demikian juga mengenai meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima penerapannya diIndonesia sebagai suatu “bestendigen gebruikelijk beding” (janji/syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan/kebiasaan yang lazim berlaku didalam golongan tertentu, hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan), sehingga tidak bertentangan dengan pasal 1339 dan 1347 KUHpdt.
Pasal 1339 KUHpdt : “ Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
Pasal 1347 KUHPdt :“ Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.”
Pada sisi lain Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1982 Melarang Notaris & PPAT memberi kuasa mutlak dalam Transaksi Jual Beli Tanah.
"Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.
Meskipun larangan ini hanya dalam bentuk Instruksi Menteri, dalam konstelasi peraturan perundang-undangan tergolong salah satu bentuk hukum positif yang mengandung aturan hukum publik yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam kegiatan trnsaksi jual beli tanah. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa untuk pemindahan hak atas tanah dengan menggunakan bentuk kuasa mutlak Sehingga secara konkrit pemberi kuasa boleh ya atau boleh tidak dalam memberikan kuasa Mutlak, tergantung rasa percaya penuh dan mutlak atau tidak kepada si penerima Kuasa, dengan tetap mengindahkan Instruksi Mendagri diatas. Jika kita berfikir konkrit, kebanyakan surat kuasa mutlak biasanya lahir dari atau akibat dari perjanjian yang telah diadakan sebelumnya, dan bisa jadi muncul dalam kondisi si-pemberi kuasa dalam keadaan terjepit atau tidak memiliki pilihan lain. Misalkan, seorang debitur meminjam uang kepada kreditur disertai dengan objek jaminan. Ketika debitur pailit ga bisa bayar hutang, maka dalam kondisi terjepit, si debitur bisa saja "menyerah" kepada kreditur, untuk memberikan kuasa mutlak menjual, mengalihkan, menghibahkan dan lain sebagainya yang tujuannya agar hutang debitur lunas terhadap kreditur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar